Oleh: Agustinus Toko Susetio *)
MALUKU Utara begitu kaya akan sumberdaya alam, mulai dari sumberdaya mineral, perikanan laut, kehutanan, perkebunan dan pertanian, potensi wisata, dan beragam sumberdaya alam lainnya yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya sebagai modal dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki oleh Provinsi Maluku Utara adalah perkebunan kelapa yang keberadaannya cukup melimpah, dan tanaman ini tumbuh di sepanjang pesisir puau-pulau di Maluku Utara.
Kelapa merupakan salah satu tanaman perkebunan yang sebarannya cukup luas di Provinsi Maluku Utara dengan total luas lahan sebesar 217,141 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota, dengan Kabupaten terluas tanaman kelapanya adalah Halmahera Utara seluas 48,958 Ha diikuti Halmahera barat, Kelupauan Sula, Halmahera Selatan dan Taliabu memiliki masing-masing sekitar 30 an Ha. Sementara Halteng, Haltim, Pulau Morotai berkisar antara 10,000 ha sampai 13,000 Ha. Tidore Kepulauan seluas 8,541 Ha, dan Ternate sekitar 1,794 Ha. Dengan lahan tanaman perkebunan kelapa seluas itu, Provinsi Maluku Utara mampu memproduksi kelapa dalam bentuk kopra sebanyak 232,277 ton per tahun pada tahun 2017 (Maluku Utara Dalam Angka, 2017).
Halmahera Timur yang merupakan Kabupaten dimana ANTAM mengoperasikan pertambangan nikel, memiliki lahan tanaman kelapa seluas 11,696 Ha dengan produksi per tahun pada Tahun 2017 mencapai 6,783 ton kopra. Sayangnya dengan potensi sebesar itu, sampai saat ini belum ada industri pengolahan baik pengolahan kopra maupun produk lainnya. Selain itu, petani kelapa sering mengeluhkan rendahnya harga kopra yang mereka terima sehingga hasil yang mereka peroleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Akibatnya adalah tidak ada dorongan bagi mereka untuk memanen kelapa secara optimal dan mempertahankan tanaman yang mereka miliki dengan melakukan penanaman kembali tanaman kelapa untuk menggantikan tanaman ainnya yang umurnya sudah sangat tua dan tidak produktif. Jika tidak ada upaya untuk memecahkan masalah ini maka keberadaan komoditas kelapa tidak akan berkelanjutan dan petani tidak dapat meningkatkan pendapatannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Generasi muda pun tidak akan tertarik untuk menjadi petani karena mereka melihat bahwa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pertanian sangat minim dan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup.
Memperhatikan hal tersebut, PT. ANTAM Unit Bisnis Pertambangan Nikel Maluku utara melalui program CSR berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan komoditas kelapa dengan mengembangkan produk berbahan sabut kelapa, yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk media tanam dalam kegiatan reklamasi lahan tambang, pembuatan kerajinan tangan, dan lain-lain. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa sehingga mereka dapat meningkat kesejahteraanya dan terdorong untuk terus meningkatkan produkstivitas dan mempertahankan dan memelihara kebun kelapa yang mereka miliki.
Program ini diawali dengan melakukan kegiatan pelatihan menganyam sabut kelapa dan membuat coconet, dimana peserta pelatihan ini sebagian besar adalah kaum perempuan/ibu rumah tangga. Pelatihan dilaksanakan pada Tahun 2019 dimana target pelatihan tesebut adalah terbentuknya kelompok perajin coconet yang dapat memproduksi coconet dengan target produksi sebesar 4 set coconet ukruan 2 x 25 m per hari.
Saat ini dengan keterampilan yang dimiliki kelompok perajin yang tergabung dalam lembaga Varamao sudah bisa menghasilkan 5 set coconet berukuran 2 x 25 m yang diamnfaatkan untuk reklamasi lahan bekas tambang oleh ANTAM. Sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan coconet dalam rekalmasi lahan, antam membelinya dari Pulau Jawa dengan harga yang pebih tinggi. Setelah adanya produk lokal, antam mendapatkan coconet dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang sama dengan kualitas coconet dari Jawa.
Untuk memenuhi kebutuhan sabut kelapa, kelompok Varamao yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, memebelinya dari petani kelapa seharga Rp.150 per butir kelapa. Selain itu, petanni kelapa juga mendapatkan nilai tambah dari tempurung kelapa yang dibeli oleh para perajin/pembuat arang kelapa seharga Rp.200 per butir kelapa. Jadi tambahan nilai manfaat dari pemanfaatan sabut kelapa dan tempurung kelapa adalah sebesar Rp.350,- per butir. Pada saat harga murah, harga 1 kilo gram kopra hanya Rp.3000,-.
Untuk membuat 1 kilogram kopra petani membutuhkan 8-10 butir kelapa. Artinya jika digunakan angka 8 butir kelapa untk 1 kilogram kopra, harga kelapa yang diterima petani per butir hanya Rp. 375,-. Dengan memanfaatkan sabut dan tempurungnya, petani mendapatkan tambahan Rp.350,- per butir kelapa, artinya pendapatan petani meningkat hamper 2 kali lipat pada saat harga kopra mengalami penurunan sampai Rp.3000,- per kg.
Kelompok perajin yang tergabung dalam lembaga varamao terdiri dari sekitar 12 orang yang sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga. Dengan produkivitas yang mereka miliki saat ini, setiap hari kelompok tersebut mendapatkan penghasilan sekitar Rp.800,000,- s.d. Rp.1,200,000 per hari. Bahkan beberapa anggota kelompok juga membuat sendiri coconet di rumahnya sehingga pendapatan yang dihasilkan bisa mencapai tiga setengah juta rupiah per bulan. Beberapa anggota kelompok adalah pasangan suami istri, sehingga pendapatan mereka per bulan sekitar 4 – 6 juta rupiah per bulan. Dengan pendapatan sebesar itu, beberapa diantara mereka akhirnya mampu menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Sebagian biaya kuliah juga mendapatkan bantuan beasiswa dari ANTAM.
Salah satu kendala dalam pengembangan usaha ini adalah keterbatasan pasar, dimana saat ini satu-satunya pembeli produk coconet adalah ANTAM yang menggunakan produk tersebut untuk reklamasi lahan tambang, terutama pada area-area bekas tambang yang terjal dan berbatu. Coconet digunakan sebagai media tanam pada area yang miring dan berbatu. Aplikasinya dilakukan dengan menggunakan hydroseeding, dimana benih tanaman yang akan ditanam sudah dicampur dengan bahan organik dan media perekat untuk disemprotkan pada coconet yang dibentangkan pada area reklamasi.
Kebutuhan coconet dari ANTAM cukup besar, dimana setiap tahun perusahaan ini membutuhkan sekitar 2000-3000 set coconet ukuran 2×25 m persegi. Saat ini lembaga varamao sedang mengembangkan juga produk kerajinan tangan dari sabut kelapa seperti pot tanaman dan produk-produk lainnya. Harapannya dengan produk kerajinan ini akan semakin berkembang pemasaran produk dan semakin banyak sabut kelapa yang bisa diolah untuk menciptakan nilai tambah.
Kendala lainnya adalah masih rendahnya minat petani kelapa untuk menjual sabut kelapa sesuai permintaan perajin coconet. Hal ini karena saat ini sebagian besar sabut kelapa dimanfaatkan untuk mengolah kelapa mereka menjadi kopra.
Memang saat ini metode pembuatan kopra yang dilakukan oleh para petani adalah mengeringkan kelapa dengan menggunakan metode pengasapan. Selain sabut dan tempurung yang terpakai dan tidak memiliki nilai ekonomi, hasil dari pembuatan kopra dengan metode ini berupa kopra hitam yang kualitasnya lebih rendah dan harga lebih murah. Oleh Karena itu, lembaga Varamau yang dibina oleh antam kedepan akan membuat program pengolahan kopra putih.
Berbeda dengan kopra hitam, metode pembuatan kopra putih ini adalah dengan cara dijemur atau dioven. Jika menggunakan metode penjemuran diperlukan semacam greenhouse yang digunakan untuk mengeringkan kelapa menjadi kopra. Hasil dari pembuatan kopra dengan metode ini adalah warna kopra relatif putih dan bersih. Kopra jenis ini memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan kopra hitam dan harga yang juga lebih tinggi. Pada saat ini, dengan harga kopra hitam sebesar Rp.9000,-, per kg, harga kopra putih bisa mencapai Rp.15,000,- per kg, sebagaiman disampaikan oleh Refly Ngantung, Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara di Tribun Manado tangal 20 Oktober 2020.
Kopra putih dengan kadar air tertentu memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dan daya simpan lebih lama pada gudang standar sehingga petani memiliki lebih banyak peluang untuk mendapatkan harga lebih baik. Jadi selain nilai tambah dari sabut dan tempurung kelapa, dengan memproduksi kopra putih , petani kelapa akan mendapatkan nilai tambah dari harga kopranya yang lebih tinggi.
Hampir setiap bagian dari tanaman kelapa memiliki nilai ekonomis yang dapat dioptimalkan dengan membuat produk turunan atau olahan, sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi bagi para petani kelapa serta menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja, dan berbagai multiplier impact lainnya. Menciptakan nilai tambah adalah salah satu kunci dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam sehingga lebih berkeadilan dan berkelanjutan untuk membangun peradaban, kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik.
Untuk menuju ke sana diperlukan komitmen dari seluruh stakeholder, serta sinergi dan kolaborasi yan baik dari semua pihak. Upaya-upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, membuka akses pasar, dan secara terus menerus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi, meningkatkan kelembagaan, serta terus menerus melakukan inovasi dan inisiatif yang mampu mengatasi berbagai kendala yang dihadapi oleh masyarakat. Lebih penting dari semua itu adalah, setiap stakeholder harus menyadari untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam menciptakan kesejahteraan dan kemandirian.(**)
*) Penulis Adalah Parktisi Pemberdayaan Masyarakat dan Musisi
Komentar