oleh

Bolehkah Kepala Daerah “Main” Tambang?

banner

SEBENARNYA boleh, kata sebagian orang. Namun tak sedikit para pihak yang mempersoalkan. Masalahnya bukan boleh atau tidak boleh, tapi etis atau tidak. Itulah pergulatan pendapat yang berseliweran ramai di media mainstream digital belakangan ini. Apalagi di media sosial (Medsos), bahkan di warung kopi—menyoroti dugaan kepemilikan saham gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos di salah satu perusahaan tambang bernama PT. Karya Wijaya.

Kita mulai dari yang berpendapat “tidak boleh”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, larangan bagi kepala daerah untuk memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tercermin pada Pasal 76.

banner

Secara spesifik, aturan ini menyatakan bahwa kepala daerah dilarang terlibat dalam usaha yang tidak sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Kepemilikan IUP dianggap dapat menimbulkan konflik kepentingan. Terutama karena kepala daerah, yang meski saat ini, semua kewenangan penerbitan IUP sudah berpindah ke pemerintah pusat, melalui Kementerian ESDM.

Persoalannya, apakah nama Sherly Tjoanda tertera dalam akta kepemilikan perusahaan, atau memiliki saham mayoritas di perusahaan tersebut (PT. Karya Wijaya)-red. Hal ini juga diperlukan konfirmasi tuntas untuk mengetahui benar-tidaknya nama orang nomor satu di Provinsi Maluku Utara ini, benar-benar berada dalam pusaran koorporasi yang beroperasi di sektor pertambangan dalam wilayah Provinsi Maluku Utara. Yang kemudian jadi polemik berkepanjangan hingga saat ini.

Lanjut, larangan ini diperkuat oleh UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. Semua aturan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi dalam sektor pertambangan.

Mengulik dasar hukum dan prinsip konflik kepentingan, maka pelarangan ini berakar pada prinsip umum dalam tata kelola pemerintahan yang baik, untuk menghindari konflik kepentingan.

Dengan demikian, meskipun tidak ada pasal tunggal yang secara eksplisit melarang kepemilikan IUP oleh kepala daerah, namun larangan ini tercermin dalam berbagai peraturan yang mengatur etika pejabat publik dan korupsi.

Pertama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini membatasi kewenangan kepala daerah dalam sektor pertambangan dan mengatur larangan bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang dan jabatan mereka.

Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi atau orang lain dapat dijerat dengan undang-undang ini.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini membahas larangan bagi pejabat untuk membuat keputusan yang mengandung konflik kepentingan.

Menyasar kemungkinan dampak pelanggarannya. Jika kepala daerah terbukti memiliki IUP atau saham di perusahaan tambang, ia dapat dikenakan sanksi berat, termasuk sanksi pidana. Pelanggaran yang terbukti masuk kategori tindak pidana korupsi dapat berujung pada hukuman penjara dan denda.

Berikut sanksi administrasi, termasuk pemberhentian dari jabatan. Kemudian kerugian lingkungan dan sosial. Konflik kepentingan ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan kerugian bagi masyarakat sekitar.

Dengan demikian, larangan ini penting untuk memastikan integritas dan transparansi dalam tata kelola sektor pertambangan, demi kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi pejabat.

Lantas bagaimana dengan mereka yang berpandangan “boleh” bagi seorang kepala daerah memiliki IUP bahkan kepemilikan saham di perusahaan tambang tertentu. Alasannya sederhana. Buktinya PT. Karya Wijaya memperoleh izin tambang nikel seluas 1.145 hektar di kawasan strategis Fritu, Kabupaten Halmahera Tengah, yang diterbitkan Kementerian ESDM. Hmmm**(Disadur dari berbagai sumber dan pendapat)

banner

Komentar