oleh

Pemilik Saham Mayoritas Itu Punya Kekuasaan Tertinggi di Perusahaan, Ko Im: Bagaimana Mungkin Sherly Klaim Dirinya Pasif?

banner

TERNATE, PNc—Beberapa waktu lalu, gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos mengklaim, bahwa dirinya sebagai pemegang saham pasif di sejumlah perusahaan tambang ‘turun waris’. Pernyataan gubernur ini disampaikan saat menjawab pertanyaan host salah satu televisi swasta nasional di Jakarta.

Lontaran pernyataan gubernur Sherly ini sontak ditanggapi Malut Institute. Menurut Direktur Malut Institut, Abdurrahim Fabanyo, biasa disapa Ko Im, bahwa pernyataan “pemegang saham pasif” adalah bentuk pembohongan publik, yang merendahkan kecerdasan masyarakat Maluku Utara.

banner

“Sherly Tjoanda (gubernur-red), seolah-olah menganggap masyarakat Maluku Utara tidak paham apa itu pemegang saham. Padahal, dalam struktur perusahaan, pemegang saham mayoritas justru memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan,” tegas Ko Im dalam pernyataan resminya 20 November 2025, melansir pikiranummat.com.

Sesuai data yang dihimpun Malut Institute, lanjut Ko Im, gubernur Sherly Tjoanda tercatat sebagai pemilik dan pemegang saham mayoritas di lebih dari sepuluh perusahaan yang bergerak di sektor strategis. Mulai dari tambang nikel, emas, tembaga, pasir besi, perkayuan, jasa konstruksi, hingga perhotelan. Dengan posisi tersebut, gubernur Sherly tidak hanya memiliki kendali finansial, tetapi juga otoritas penuh menentukan arah kebijakan perusahaan.

“Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, secara jelas menyebutkan, bahwa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), adalah kekuasaan tertinggi dalam PT. RUPS, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi serta komisaris. Jadi, bagaimana mungkin Sherly mengklaim dirinya pasif?” ucap Ko Im.

Malut Institute juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang sangat besar antara posisi Sherly sebagai pemilik perusahaan dan perannya dalam lingkar kekuasaan daerah. Apalagi, perusahaan-perusahaan miliknya bergerak di sektor yang sangat bergantung pada izin dan rekomendasi dari pemerintah daerah, seperti AMDAL dan izin lingkungan.

“Gubernur mengeluarkan izin, Sherly yang menerima manfaatnya. Ini bukan sekadar konflik kepentingan. Tapi ini adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan sistematis,” tegasnya.

Ia juga menyoroti praktik-praktik yang dinilai tidak etis, seperti pemusatan kegiatan Pemerintah Daerah Provinsi di hotel milik Sherly Tjoanda. “Itu artinya, APBD digunakan untuk menyewa fasilitas milik pribadi gubernur. Ini bukan hanya tidak etis, tapi juga membuka ruang korupsi terselubung,” tandasnya.(tim/ist/puc)

banner

Komentar