TERNATE, PNc—Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, mengaku bahwa kepemilikan saham di sejumlah perusahaan tambang bukanlah hasil ekspansi usahanya selama menjabat.
“Saya dari awal transparan saya punya saham di beberapa perusahaan tambang itu tidak ada yang salah,” kata Sherly, mengutip kanal YouTube, Denny Sumargo, Rabu 19 November 2025.
“Saya punya saham karena itu turun waris ketika almarhum (Benny Laos, suaminya) meninggal dunia.”
Klaim warisan ini tampak sebagai jawaban atas tuduhan rangkap kepentingan yang diungkap JATAM. Tetapi laporan kritis JATAM justru memperlihatkan jejak kepemilikan dan relasi yang lebih kompleks.
Dalam laporan berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, JATAM mencatat bahwa gubernur Sherly terafiliasi dengan jaringan perusahaan yang menguasai lahan dan sumber daya alam Maluku Utara.
Jejak Lima Perusahaan dan Kelompok Usaha Keluarga
Dalam laporan JATAM, lima perusahaan yang disebut memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Sherly Tjoanda antara lain PT. Karya Wijaya–tambang nikel di Pulau Gebe, PT. Bela Sarana Permai–tambang pasir besi di Pulau Obi.
Lalu PT. Bela Kencana–perusahaan tambang nikel, PT. Amazing Tabara–perusahaan tambang emas, serta PT. Indonesia Mas Mulia yang juga tambang emas dan tembaga.
“Relasi ini ditelusuri melalui akta, perubahan saham, hingga keterkaitan dengan kelompok usaha Bela Group yang sebelumnya dikelola bersama almarhum suami Sherly, Benny Laos,” tulis laporan itu.
Batas Antara Legalitas dan Etika Publik
Dalam klarifikasinya, Sherly menekankan bahwa seluruh kepemilikan sahamnya bersifat terbuka dan dapat dilihat melalui LHKPN. Ia juga menjelaskan bahwa meski sebagai pejabat publik, ia masih diperbolehkan menjadi pemegang saham, ia tidak diperkenankan menjadi pengurus perusahaan. “Karena itu, sebelum dilantik sebagai gubernur, saya keluar dari seluruh kepengurusan perusahaan,” katanya.
Sherly juga menegaskan bahwa pemerintah provinsi di bawah kepemimpinannya belum pernah menandatangani satu pun izin tambang sejak ia dilantik.
Namun, JATAM menyoroti, bahwa meskipun semua izin “resmi”, terdapat indikasi bahwa prosedur perizinan dan pengawasan masih memiliki celah besar.
“Secara hukum, pelanggaran etika dan potensi konflik kepentingan muncul karena rangkap jabatan kepala daerah sebagai pengurus atau pemegang saham perusahaan swasta,” kata Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, melansir https://www.klikfakta.id
Laporan itu juga menegaskan, UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, dan Peraturan KPK menegaskan larangan konflik kepentingan dan rangkap jabatan bagi pejabat publik. “Praktik semacam ini berisiko melanggar aturan formal dan merusak kepercayaan publik,” ujar Julfikar.
Butuh Transparansi dan Audit
Hal senada juga diutarakan Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar. JATAM mendesak kata Melky, agar pihak terkait melakukan audit menyeluruh terhadap izin, pengawasan, dan kepemilikan saham dalam perusahaan-tambang yang berada di lingkar pemerintahan.
“Pengawasan tidak boleh berada di tangan orang yang punya kepentingan langsung terhadap perusahaan yang diawasi. Publik berhak mendapatkan pemerintahan yang bersih dari kepentingan bisnis keluarga,” ungkap Melky.
Media dan publik lanjut Melky, kini menunggu langkah konkret. Apakah warisan saham akan dikelola sebagai aset transparan atau akan melebur menjadi gurita bisnis yang tak terpisahkan dari kekuasaan publik.(red/tim/ist)





























Komentar