JAKARTA–Sidang lanjutan perkara dugaan pelanggaran kehutanan dan lingkungan hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Rabu (12/11/2025), membuka babak baru dalam polemik aktivitas PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) serta PT Wana Kencana Sentosa (WKS) di kawasan hutan Halmahera Timur.
Ahli Perencanaan Hutan dari BRIN, Dr. Lutfi Abdullah, mengungkap bahwa berdasarkan citra satelit resolusi tinggi, jalan tambang yang dikerjakan PT Position sepanjang delapan kilometer merupakan bukaan baru, bukan peningkatan (upgrading) jalan lama, sebagaimana kerap dijadikan bagian dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara tersebut.
“Dari citra yang kami analisis, tidak ada bukaan sebelumnya. Tekstur dan warna permukaan tanah menunjukkan perubahan signifikan antara 2020 dan 2024. Itu bukan jalan lama yang diperbaiki, tapi pembukaan baru di kawasan hutan produksi,” tegas Abdullah di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Sunoto.
Lebih lanjut, ahli menjelaskan bahwa aktivitas tersebut menyerempet ke wilayah izin usaha PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan terjadi di luar blok Rencana Karya Tahunan (RKT) 2024.
“Area itu belum termasuk dalam blok yang disetujui pemerintah untuk pembukaan jalan atau penebangan. Kegiatan di luar RKT tidak diperbolehkan dan tidak dapat dimonitor oleh pemerintah,” ujarnya.
Dalam sidang yang sama, Jaksa Penuntut Umum sempat menyoroti tidak adanya bekas tebangan kayu di sepanjang jalan tambang PT Position
“Saya sampai berpikir seperti proyek Roro Jonggrang. Dalam semalam jalan sudah jadi, tapi sebatang kayu pun tak terlihat. Kalau benar itu kawasan hutan, ke mana kayunya?” tanya jaksa.

Namun, sindiran itu justru dikoreksi langsung oleh ahli, yang menilai Jaksa keliru membaca kondisi faktual di lapangan. Menurut ahli, kalau tidak ada bekas tebangan kayu, itu justru menunjukkan kegiatan dilakukan tanpa mekanisme resmi pemanfaatan hasil hutan.
“Dalam praktik kehutanan, pembukaan jalan selalu meninggalkan jejak tebangan. Kalau nihil, berarti tidak sesuai prosedur,” jelasnya.
Pernyataan tersebut bahwa PT Position melakukan pembukaan lahan baru tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH); dan JPU belum memahami konteks teknis perbedaan antara lahan eksisting dan lahan baru yang menjadi bagian dari pokok perkara ini.
“IPPKH adalah dasar hukum utama sebelum dilakukan pembukaan jalan atau pembebasan lahan di kawasan hutan. Selama belum memiliki IPPKH, pemegang IUP tidak boleh melakukan kegiatan apa pun,” tambah Abdullah.
Ahli juga menegaskan bahwa kegiatan tersebut tidak dapat dilegitimasi oleh adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT WKS dan PT Position karena PKS hanya dapat dilakukan pada jalan eksisting yang telah disetujui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kalau jalan itu baru dibuka, maka kerjasama PT WKS dan Position tidak sah. Prinsip kehutanan tidak memperbolehkan pembukaan jalan baru tanpa izin menteri,” ujar ahli.
Keterangan ini juga menyeret keterlibatan PT Wana Kencana Sentosa (WKS) yang wilayah operasionalnya dilaporkan tumpang tindih di lokasi sama, di luar blok RKT yang telah disetujui. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya bukaan serentak tanpa izin kehutanan di kawasan hutan produksi Halmahera Timur.
Menutup sidang, Ketua Majelis Hakim Sunoto menegaskan pentingnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap mekanisme administratif dalam perkara kehutanan.
“Pelanggaran administratif dan pidana harus dibedakan secara tegas. Jangan sampai kekeliruan teknis menyebabkan salah tafsir hukum,” ucapnya.
Sementara di luar ruang persidangan tampak ratusan Perkumpulan Aktivis Maluku Utara setia mengawal perkara ini.
Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, Yohanes Masudede, menilai keterangan ahli di persidangan hari ini sudah cukup untuk membongkar praktik manipulatif yang dilakukan PT Position.
“Ahli sudah sangat jelas menyebut bahwa jalan itu bukaan baru tanpa izin. Jadi jangan lagi PT Position berlindung di balik istilah ‘jalan eksisting’ atau ‘koalisi proyek’. Itu siasat lama untuk menutupi pelanggaran,” tegas Yohanes di halaman pengadilan.
Ia juga menuding PT Position sebagai perusahaan yang mencoba menipu publik dan penegak hukum dengan narasi kerja sama semu dan dalih peningkatan jalan.

“Mereka ingin tampil seolah-olah patuh hukum, padahal di lapangan membuka hutan baru tanpa izin. Ini kejahatan lingkungan yang dibungkus dengan kertas legalitas palsu,” ujarnya keras.
Menurut Yohanes, publik Halmahera Timur sudah jenuh melihat pola yang sama dari perusahaan tambang yang berlindung di balik izin kerja sama atau proyek peningkatan infrastruktur.
“PT Position harus berani tanggung jawab. Kalau memang merasa legal, tunjukkan IPPKH-nya. Jangan lempar isu sana-sini untuk menutupi fakta di lapangan,” katanya.
Yohanes menegaskan, Perkumpulan Aktivis Maluku Utara akan terus mengawal sidang hingga vonis akhir.
“Ini bukan soal satu perusahaan, tapi soal masa depan hukum lingkungan di Maluku Utara. Kalau PT Position dibiarkan lolos, itu artinya negara tunduk pada korporasi,” tutup Yohanes Masudede dengan nada tegas.(red/tim/rls)





























Komentar