JAKARTA — Di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dingin, dua lelaki sederhana duduk menunduk. Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, karyawan lapangan PT Wana Kencana Mineral (WKM), tampak seperti siapa pun dari kita—pekerja kecil yang hidup dari keringat harian. Namun sejak beberapa bulan terakhir, keduanya menyandang sebutan yang tidak pernah mereka bayangkan: terdakwa.
Mereka bukan koruptor, bukan perampok, dan bukan pula mafia tambang. Mereka hanya dua pekerja lapangan yang, menurut penjelasan mereka, menjalankan tugas perusahaan—memasang pagar pembatas di area yang diyakini sebagai wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik perusahaannya sendiri. Ironisnya, tindakan itu justru menyeret mereka ke kursi pesakitan.
Dari Perintah Atasan Hingga Kriminalisasi
Semua bermula dari temuan Awwab saat memeriksa area IUP PT WKM di Halmahera Timur. Ia melihat ada galian yang mencurigakan. Bukan galian resmi perusahaannya, sebab PT WKM belum pernah menambang di lokasi itu. Temuan itu membuatnya khawatir—ada pihak luar yang membuka lahan.
Atas perintah Direktur Utama PT WKM, Eko Wiratmoko, Awwab memerintahkan Marsel untuk memasang pagar sepanjang 12 meter sebagai tanda batas dan pencegahan masuknya pihak lain.
“Saya memerintah, saya bertanggung jawab atas perbuatan saya, bukan Marsel dan Awwab yang masuk penjara,” kata Eko di persidangan.
Ia bahkan menegaskan bahwa pemasangan patok dilakukan tim konstruksi (Lius dan Manopo), sementara Awwab dan Marsel hanya menjalankan tugas administratif dan pengawasan sesuai instruksi. Bagi Eko, mendudukkan kedua bawahannya sebagai terdakwa adalah kesalahan fatal.
Masalah Yuridiksi dan Legal Standing yang Dipermasalahkan
Kuasa hukum mereka, Otto Cornelis Kaligis dan Rolas Sitinjak, menyebut dakwaan jaksa kabur (obscuur libel) dan salah sasaran (error in persona). Tempat kejadian perkara berada di Halmahera Timur—bukan Jakarta. Para saksi pun bertempat tinggal dan bekerja di Halmahera Timur. Seharusnya, kata Kaligis, perkara ini ditangani oleh Kejari Halmahera Timur dan Pengadilan Negeri Soasio, bukan PN Jakarta Pusat.
Kaligis juga menyatakan pelapor, PT Position, tidak memiliki legal standing untuk membuat laporan polisi karena tidak memiliki IUP di lokasi yang dipermasalahkan.
Sebaliknya, PT WKM justru memiliki dasar hukum yang jelas: Keputusan Gubernur Maluku Utara No.299/KPTS/MU/2016 tentang IUP Operasi Produksi Logam Nikel seluas 24.700 hektare.
“Kasus ini seakan-akan mengajarkan bahwa memasang patok di tanah sendiri bisa membuat Anda dipenjara,” ujar Rolas.
Dukungan dari Pekerja Lain: Solidaritas Ojol untuk Awwab–Marsel
Rabu itu, halaman PN Jakarta Pusat penuh dengan jaket ojek daring. Puluhan pengemudi bergabung dalam Solidaritas Ojol untuk Awwab dan Marsel (SOAM). Mereka datang bukan karena diminta, tetapi karena merasa senasib sebagai pekerja kecil di tengah kerasnya dunia industri dan hukum.
“Kami datang secara tulus untuk memberikan dukungan moral. Sebagai sesama pekerja, kami memahami kesedihan Awwab dan Marsel,” kata Juru Bicara SOAM, Rian Hari Safel.
Rian menegaskan bahwa keduanya hanyalah korban kriminalisasi. Fakta persidangan tidak menunjukkan bahwa mereka memasang patok di lahan milik PT Position. Mereka justru memasangnya di wilayah IUP PT WKM—tanah tempat mereka bekerja dan dilindungi negara secara hukum.
Hutan Perawan, Jalan Misterius, dan Dugaan Pembukaan Lahan Ilegal
Dalam persidangan, terungkap fakta mencengangkan. Area IUP PT WKM adalah hutan perawan (virgin forest)—belum pernah digarap perusahaan. Namun di lokasi itu muncul jalan baru yang bukan bagian dari rencana kerja PT WKM.
“Kalau itu jalan baru, maka itu merupakan perbuatan melawan hukum. Saksi dan terdakwa sudah menjelaskan bahwa sebelumnya tidak pernah ada jalan di sana,” kata Rolas.
Fakta ini menguatkan dugaan bahwa ada pihak ketiga yang masuk ke wilayah IUP PT WKM tanpa izin—dan laporan PT Position terhadap Awwab dan Marsel muncul justru setelah PT WKM lebih dulu melaporkan dugaan penyerobotan lahan oleh PT Position.
Tugas dan Fungsi Ahli Tambang/KTT: Mengapa Awwab dan Marsel Bukan Subjek Hukum?
Dalam industri pertambangan, terdapat pejabat teknis negara yang bertanggung jawab memimpin dan menjamin keselamatan operasi tambang, yaitu: Kepala Teknik Tambang (KTT).
Tugas dan fungsinya Diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba (diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020); Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik; serta Keputusan Dirjen Minerba tentang Kompetensi KTT dan Pengawas Operasional.
Menurut regulasi, KTT bertugas: Memimpin secara teknis operasional tambang; Memastikan batas IUP, IUPK, dan WIUP jelas dan tidak dilanggar; Mengawasi kegiatan di seluruh wilayah tambang; Mencegah dan menindak kegiatan pertambangan ilegal; serta Menjamin keselamatan pekerja dan lingkungan.
Tugas-tugas ini bersifat mandatori negara. Artinya: Jika ada pemasangan patok, pencegahan pelanggaran batas IUP, atau pemeriksaan lahan, itu adalah bagian dari kewenangan dan kewajiban teknis perusahaan—bukan kesalahan pekerja lapangan.
Karena itu, mempidanakan Marsel dan Awwab sama saja dengan menghukum staf administrasi karena menjalankan perintah formal yang seharusnya menjadi domain pejabat teknis.
Dua Pekerja Kecil, Satu Negeri yang Terasa Tidak Adil
Sementara para eksekutif dan operator besar perusahaan bersilang pendapat, dua pekerja lapangan itu menjalani malam-malam panjang di balik tahanan. Keluarga mereka menunggu dengan cemas. Anak kecil Marsel setiap malam bertanya kapan ayahnya pulang. Istri Awwab terus membuka telepon, berharap ada kabar baik.
Feature ini bukan untuk menghakimi siapa benar dan siapa salah. Namun ketika hukum menyeret dua orang kecil yang hanya menjalankan perintah dan bekerja di tanah perusahaannya sendiri, publik tentu berhak bertanya. Mengapa yang duduk di kursi terdakwa adalah pekerja lapangan, bukan para pengambil keputusan?
Sidang akan berlanjut, Rabu (03/12/2025. Namun harapan banyak orang sederhana saja: agar Awwab dan Marsel mendapatkan keadilan yang tidak memihak pada yang kuat, tetapi berpihak pada kebenaran.
Mereka hanya memasang pagar. Mereka hanya ingin pulang.(red/tim/rls)





























Komentar