MABA, PNc–Nasib petani dan nelayan di Subaim, Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara terancam serius akibat dugaan pencemaran lingkungan bersumber dari dua perusahaan tambang, PT JAS dan PT ARA.
Ironisnya, hingga kini tidak ada sanksi atau tindakan tegas pemerintah daerah Halmahera Timur, maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Ketua Kelompok Tani Tirtonadi, Rohadi, menyebut limbah sedimen diduga dari dua perusahaan tersebut telah merusak sawah seluas 18 hektar sejak Oktober 2025 lalu, dan kini kembali terjadi (November 2025).
“Hasil panen dulu 4 sampai 5 ton per hektar, sekarang 1 ton pun sulit dicapai. Lahan kami rusak, pemerintah diam,” keluh Rohadi.
PT. ARA sebut Rohadi, hanya memberi kompensasi pupuk senilai Rp500 ribu hingga Rp 2 juta Oktober lalu. Sementara janji ganti rugi berikutnya tidak terealisasi. PT. JAS bahkan dinilai sama sekali tidak menanggapi keluhan warga.
“Mereka datang untuk menambang, bukan untuk bertanggung jawab,” tegas Rohadi.
Dampak limbah tambang juga menghantam petani kelapa. Hayarudin mengungkapkan lumpur merah dari aktivitas pertambangan masuk ke kebun setiap kali banjir.
“Produksi kopra turun dari 2 ton menjadi 800 kilogram, sekitar 30 pohon mati. Pemerintah desa dan kecamatan seolah menutup mata,” ungkapnya.
Warga menilai, keberadaan perusahaan tambang telah mengorbankan mata pencaharian mereka.
“Kami tidak anti tambang. Kehadiran mereka membantu mengurangi pengangguran. Tapi ingat, mereka harus bertanggung jawab penuh atas kerusakan yang mereka timbulkan,” katanya.
Kini, para petani dan nelayan menuntut pemerintah daerah memanggil PT. JAS dan PT. ARA, untuk meninjau kembali izin tambang mereka, dan memastikan ada kompensasi nyata. Bila tidak, izin mereka patut dicabut.
Warga menegaskan, tanpa tindakan tegas, pembangunan ekonomi hanya akan menghasilkan kerusakan lingkungan dan kesengsaraan sosial. (red/tim/ist)





























Komentar