JAKARTA–Sidang ke-15 perkara sengketa lahan pertambangan antara PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position kembali berlangsung tegang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 19 November 2025.
Ketidakhadiran Direktur PT Wana Kencana Sentosa (WKS) menjadi sorotan utama, setelah ia kembali mangkir dengan alasan sakit. Alasan yang sama telah berulang kali, hingga memicu kecurigaan dan protes dari berbagai pihak.
Meski demikian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap bersikeras membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sang direktur di ruang sidang, sebuah langkah yang langsung menimbulkan perdebatan panas.
Ketua majelis hakim sebelumnya sudah menekankan pentingnya kehadiran langsung sang direktur, mengingat kesaksiannya dianggap kunci untuk menjelaskan perjanjian antar perusahaan antara PT WKS dan PT Position. Namun hingga sidang kali ini, alasan sakit terus dijadikan dasar ketidakhadiran.
Kuasa hukum terdakwa, Rolas Budiman Sitinjak, S.H., M.H., menilai bahwa pembacaan BAP tanpa kehadiran saksi melemahkan objektivitas pembuktian.
Namun JPU berpendapat bahwa persidangan tidak boleh terus tersandera oleh alasan berulang yang tak kunjung terverifikasi secara tuntas.
Terlepas dari polemik tersebut, sidang lanjutan ini membuka sejumlah temuan penting terkait akar konflik pertambangan.
Dari keterangan saksi lapangan PT WKM, termasuk surveyor Marsel Bialimbang dan karyawan teknis Awwab Hafidz, terungkap bahwa awal sengketa bermula pada Februari ketika tim PT WKM mengoperasikan drone untuk memantau wilayah operasional mereka.
Rekaman drone menunjukkan dugaan aktivitas tambang oleh PT Position berupa bukaan lahan, alat berat, serta material yang diduga dibuang ke alur sungai, yang jika terbukti, menandai potensi pencemaran lingkungan.
PT WKM mengklaim telah mencoba menyelesaikan persoalan melalui mekanisme damai dengan mengusulkan inspeksi bersama pada 16 Februari. Namun upaya itu gagal karena ketidakhadiran PT Position.
Situasi tersebut diperburuk oleh tindakan sepihak PT WKM yang memasang pagar berdasarkan peta internal tanpa melakukan verifikasi pada sistem Single Submission terkait izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
JPU menyoroti tidak adanya koordinasi PT WKM dengan Dinas ESDM, Dinas Kehutanan, atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelum melakukan tindakan tersebut.
Di sisi lain, Majelis Hakim juga menyoroti dugaan pelanggaran oleh PT Position. Dari keterangan saksi, PT Position diduga membuka jalan tambang dan melakukan aktivitas lain di luar Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disahkan. Jika terbukti, hal ini berpotensi menjadi pelanggaran berat dalam tata kelola pertambangan nasional.
Sementara itu, ketidakhadiran Direktur PT WKS justru semakin menghambat upaya majelis hakim mengurai rangkaian peristiwa yang saling tumpang tindih. Keterangan sang direktur diperlukan untuk memastikan apakah tindakan pemasangan pagar merupakan kebijakan resmi perusahaan atau keputusan sepihak tanpa dasar prosedural.
Ketegangan persidangan ini menarik perhatian publik, terutama dari Perkumpulan Aktivis Maluku Utara. Yohanes Masudede selaku koordinator, menilai bahwa ketidakhadiran Direktur PT WKS dan dugaan pelanggaran PT Position menunjukkan bahwa kedua perusahaan sama-sama belum menunjukkan itikad baik dalam menghormati proses hukum. Namun ia menilai tindakan PT Position sebagai pihak yang lebih problematik.
“PT Position sejak awal menunjukkan pola pengelolaan tambang yang tidak transparan, termasuk dugaan pembukaan jalan tambang dan aktivitas di luar RKAB. Sementara Direktur PT WKS yang terus-menerus mangkir menambah buruk situasi ini. Bagi kami, dua-duanya merusak kredibilitas industri tambang di Maluku Utara,” tegas Yohanes.
Ia juga menilai ketidakhadiran Direktur PT WKS secara berulang merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum dan merusak integritas proses peradilan.
“Kalau saksi kunci sampai berulang kali mangkir dengan alasan sakit.(red/tim)





























Komentar