TERNATE, PNc—Direktur Indonesia Anti-Corruption Network (IACN), dan Alumni Academy Anti-Corruption, Igrissa Majid, menyoroti klarifikasi gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, terkait kepemilikan saham di sejumlah perusahaan tambang.
Menurut Igrissa, pernyataan gubernur Sherly yang menyatakan tidak ada konflik kepentingan, diduga hanya sebagai upaya mengaburkan fakta hukum yang sebenarnya.
Igrissa menjelaskan, posisi gubernur Sherly tidak hanya terkait konflik kepentingan, tapi juga memenuhi kriteria sebagai Beneficial Owner (Penerima Manfaat) yang berpotensi menjeratnya dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Fakta Kepemilikan Saham
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan database perusahaan, gubernur Sherly tercatat memiliki saham signifikan di beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Maluku Utara. Kepemilikan ini, meski diklaim sebagai warisan, tapi menempatkannya sebagai pemilik dan penerima manfaat secara hukum.
“Alasan ‘turun waris’ perlu dikoreksi. Hukum memandang substansi. Selama ia memegang saham dan memiliki kepentingan ekonomi di perusahaan yang bidang usahanya beririsan dengan kewenangannya, maka konflik kepentingan itu nyata,” ucap Igrissa, melalui rilis yang diterima PilingNews.com, Rabu (19/11/2025).
Konsep Beneficial Ownership (BO)
Igrissa menambahkan, klaim tidak ada konflik kepentingan dapat dibantahkan dengan menerapkan konsep Beneficial Ownership (BO), yang diatur dalam Perpres No. 13 Tahun 2018. Gubernur Sherly dinilai memenuhi kriteria sebagai BO karena memiliki kendali atas korporasi dan berhak menerima manfaat dari perusahaan tambang tersebut.
“Seharusnya, jika data BO Gubernur Sherly tercatat dengan benar, ia tidak bisa bersembunyi dibalik alasan ‘hanya warisan’. Statusnya sebagai BO menempatkannya pada posisi yang paling bertanggung jawab penuh atas aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut,” ujarnya.
Potensi Tipikor dan Kerugian Negara
Menurut Igrissa, konflik kepentingan ini membuka potensi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), seperti penyalahgunaan wewenang, penerimaan gratifikasi, dan kerugian keuangan negara. Laporan JATAM menyebutkan, bahwa PT. Karya Wijaya berstatus non-Clean and Clear (non-CnC), dan diduga beroperasi tanpa izin lengkap, yang berpotensi menimbulkan kerugian negara besar dari pajak dan royalti yang tidak dibayar.
“Kepemilikan saham yang terbuka ini adalah bukti permulaan yang sangat kuat untuk membangun konstruksi kasus korupsi. KPK atau Kejaksaan harus segera bertindak,” katanya.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Igrissa juga menyoroti dampak lingkungan dan sosial akibat konflik kepentingan ini. PT Indonesia Mas Mulia dan PT Bela Sarana Permai, yang terafiliasi dengan Gubernur Sherly, telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan seperti pencemaran sungai dan pencaplokan lahan warga. Selain itu, PT Amazing Tabara dan PT Bela Kencana pernah dicabut izinnya oleh Kementerian ESDM karena pelanggaran prosedur dan standar operasi.
Langkah-Langkah Yang Diperlukan
IACN mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan untuk segera melakukan tindakan hukum, guna menguji adanya unsur Tipikor, dengan fokus pada potensi penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara.
Selain itu, gubernur Sherly Tjoanda juga harus diminta untuk melepas seluruh kepemilikan sahamnya di semua perusahaan tambang, sebagai bentuk komitmen menghindari konflik kepentingan dan memegang erat integritas.
“Pernyataan gubernur Maluku Utara bahwa tidak ada konflik kepentingan adalah naif, dan ahistoris terhadap sejumlah kasus korupsi serupa di Indonesia. Penerapan konsep BO sangat efektif membongkar kedok kepentingan sejati dibalik klaim ‘turunan waris’,” tegas Igrissa.(red/tim/ist)





























Komentar