oleh

Dinilai Hancurkan Ruang Laut Pesisir, Izin 4 Perusahaan Tambang Nickel di Haltim Harus Dicabut

banner

TERNATE, PNc–Izin 4 perusahaan tambang nickel yang beroperasi di wilayah Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara, diusulkan agar segera dicabut.

Usulan pencabutan izin operasi 4 perusahaaan tambang ini, menyusul fakta di lapangan berupa langkah preventif yang dilakukan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyegel lokasi reklamasi untuk jetty atau dermaga bongkar muat material tambang milik perusahaan di kawasan pesisir pantai wilayah setempat. Yang dianggap telah merusak ekosistem kawasan perairan dan biota laut.

banner

Alasan penyegelan oleh pihak KKP ini, karena dinilai dan terindikasi tak kantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan.

Hal ini terbukti saat penyegelan dilakukan, salah satu perusahaan yang mengaku bertanggung jawab, melalui Head Of Safety and Foreman, atau Kepala Pengawas Produksi Alngit Raya, Buang Sugianti, justeru mengakui tidak mengetahui, bila mereklamasi pantai harus ada PKKPRL. Pihaknya pun mengaku siap mengikuti arahan KKP. Berupa akan mengurus seluruh persyaratan untuk bisa mengantongi dokumen PKKPRL.

“Kami ikuti arahan Pak Dirjen. Kami akan urus semua surat-suratnya. Selama ini surat-suratnya memang belum ada. Kami tertib saja, tertib semuanya, juga berhenti semuanya. Nanti jika sudah selesai dokumennya, kami berproduksi lagi,” katanya.

Mengetahui hal tersebut, Direktur Salwaku Institut Malut, Said Marsaoly, menegaskab, bahwa tindakan penyegelan pihak PSDKP juga, sebenarnya tidak menjawab persoalan sebenarnya, terkait praktek penambangan nikel di pulau-pulau kecil.

Ia memaparkan, di Pulau Mabuli misalnya, aktivitas penambangan terus berlangsung sampai kini, meski menyandang status sebagai pulau kecil.

“Penyegelan itu tidak menyentuh akar permasalahan. Karena seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mencabut langsung Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut, karena melanggar ketentuan perundang-undangan,” katanya melalui rilis yang diterima redaksi Piling News, Sabtu (11/10/2025).

Kalau mau serius berbenah, kata Said, pemerintah harusnya menghentikan semua tambang di pulau kecil, dan fokus pemulihan lingkungan. Hal itu ia nilai, jauh lebih penting ketimbang sekadar memasang plang larangan.

“Plang larangan tidak membuat ikan- ikan yang menjauh sejak kerusakan pesisir di Haltim itu kembali lagi. Ketika ikan-ikan itu hilang, yang paling merasakan dampaknya adalah nelayan. Karena mereka kesulitan mencari ikan. Kalau bisa, mereka harus melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang lebih besar lagi,” kritik Said.

Ia menambahkan, langkah pemerintah hanya penyegelan itu, menunjukan bahwa kerusakan pesisir di Haltim tidak pernah mereka anggap serius. Begitu juga dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW), hanyalah formalitas.

“Karena setelah penyegelan berlangsung dan perusahaan memenuhi dokumen PKKPRL dan membayar denda, mereka bisa kembali beraktivitas lagi, seperti kasus PT STS di Dusun Memeli Kecamatan Maba, yang jelas menabrak tata ruang. Artinya, kerusakan akan kembali berlanjut,” tegasnya.

Untuk itu ia mendesak, pihak KKP tidak perlu menerbitkan dokumen KKPRL untuk perusahaan yang jelas-jelas melanggar. Dan segera berkoordinasi bersama KESDM untuk mencabut IUP perusahaan-perusahaan tersebut.(tim/red/ist)

banner

Komentar