Oleh: Muhammad Imron Kadir *).
Di tengah kian menanjaknya kurva pandemi covid-19, pemerintah menerapkan kehidupan baru (new normal) dengan alasan roda perekonomian kembali berputar, normal. Masyarakat diajak produktif lagi tanpa mengabaikan syarat protokol kesehatan. Sebagai salah seorang yang setiap hari berpeluh di dunia keprotokoleran, rasanya begitu berat menerapkan protokoler ini.
Dalam berbagai literatur disebutkan, istilah protokol di Indonesia awalnya dibawa oleh bangsa Belanda dan Inggris saat menduduki wilayah Hindia Belanda—sebutan untuk Indonesia ketika itu. Istilah protokol diambil dari bahasa Prancis, protocole, diadopsi dari bahasa Latin, protokollum, aslinya dari bahasa Yunai, protos dan kolla. Protos artinya pertama, sedangkan kolla, lem atau perekat.
Awalnya istilah tersebut digunakan untuk menyebutkan lembaran pertama dari suatu gulungan papyrus, kertas tebal yang ditempatkan, diletakan. Istilah protokol kemudian digunakan untuk semua catatan dokumen negara yang bersifat nasional, dan internasional. Dengan demikian, protokollum yang mulanya digunakan untuk istilah gulungan-gulungan dokumen baru, selanjutnya digunakan bagi isi persetujuan-persetujuan itu sendiri.
Pengertian tersebut menunjukkan, substansi keprotokolan adalah pengaturan yang berisi norma-norma, aturan-aturan atau kebiasaan mengenai tata kerja atau suatu tujuan yang telah disepakati dan dicapai. Sederhananya, ialah tata cara dalam menyelenggarakan suatu acara agar berjalan tertib, hikmat, rapi, lancar, dan teratur.
Secara khusus, protokol kesehatan covid-19 bersandar pada Surat Edaran Menteri Kesehatan tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) di Indonesia. Kendati demikian, sejak Maret lalu, DKI Jakarta jadi provinsi paling parah diserang wabah ganas tersebut yang menginveksi warga. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun memberlakukan Pembatasan Skala Besar Besaran (PSBB) disertai penutupan aktivitas di luar rumah, mall, dan tempat ibadah—upaya meminimalisir penularan virus yang lebih luas.
Kebijakan memutus mata rantai penyebaran covid-19 di negara ini terus ditempuh, termasuk yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah. Sayangnya, di daerah tak berjalan mulus di lapangan lantaran ditentang sebagian kalangan yang menganggap hal itu menghambat aktivitas mereka sehar-hari di luar rumah, mengais nafkah. Kebijakan itu juga berdampak tak menyenangkan bagi sejumlah pengusaha yang terpaksa gulung tikar. Dilematis, yang mencerminkan tumpang tindihnya kebijakan pusat dengan daerah.
Penghujung 2013, lalu saya ditugaskan sebagai protokol di Ibu Kota Negara. Penyesuaian tempat tugas baru tentang keprotokolan, rasanya awam, berat, dan perlu waktu penyesuaian. Suatu kali saya mendampingi tamu asing dari negeri Arab yang diundang makan malam bersama tamu dari Indonesia. Seorang protokol ketika ditunjuk mendampingi tamu, sangat berhati-hati menerapkan Standar Opersional Prosedur (SOP) berkaitan dengan prosedur kerja yang bertujuan memberikan rasa aman, dan kenyamanan.
Seperti biasanya, jamuan makan secara protokol yang dperhatikan adalah pengaturan tempat sesuai dengan situasi dan kondisi. Selanjutnya, pramusaji bertugas membantu mengarahkan untuk menuangkan sup yang sudah siap saji dan diletakkan di atas tatakan piring masing-masing tamu. Apes benar, sup daging yang muncul pertama adalah daging “babi”. Seorang koordinator tim, saya memantau dari radius enam meter, mata saya berusaha tidak melewatkan gerakan tamu. Tiba-tiba wajah tamu memerah dengan mengatakan “La‘astatie ‘akl allahm (saya tidak bisa makan daging), beruntung pernah mondok, sedikit memahami bahasa Arab. Saya mengmapiri dan mencoba menjelaskan bahwa daging babi bertentangan dengan syariat Islam. Kejadian itu, saya dan rekan-rekan tim protokol dinggap gagal menjalankan penugasan keprotokoleran.
Kaitan dengan pengalaman tersebut, new normal digembar-gemborkan pemerintah pusat sebagai kebijakan baru menghadapi corona. Corona seakan bukan lagi musuh berbahaya sebab masyarakat diajak harus bisa berdamai atau berdampingan dengan virus mematikan itu. Memang pemulihan perekonomian bangsa sangat penting, namun tergesa-gesa menerapkan new normal, tanpa mematangkan aspek keprotokolan akan berakibat fatal terhadap tim medis. Dokter dan perawat akan kewalahan meladeni pasien PDP, ODP, OTG, serta pasien yang terkonfirmasi positif.
Dari 34 provinsi terjangkit, DKI Jakarta masih tertinggi, disusul Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Provinsi Papua. Hingga 11 Juni, jumlah kasus positif covid-19 di Indonesia mencapai 35.295, yang sembuh sebanyak 12.636, dan wafat, 2.000 orang. Menanjaknya kasus positif setelah diberlakukannya new normal tentu sungguh disayangkan.
Sebagai seorang yang bekerja di bidang keprotokoleran, saya resah dengan implementasi keprotokoleran, akibat makin minimnya pemahaman warga jelang penerapan new normal di Indonesia. Dulu, sebelum merebaknya virus, kerap kali menjumpai pertanyaan apa sih protokoler? Kini, covid-19 ikut memasyarakatkan protokol, mulai dari protokol umum sampai khusus: protokol kesehatan, protokol penanganan covid-19, protokol keluar masuk rumah, dan berbagai perilaku keprotokolan lainnya.
Penerapan new normal mengharuskan masyarakat menyesuaikan diri dengan tatanan kehidupan baru, melakukan aktifitas di ruang publik. Pemerintah mestinya tidak sekedar memikirkan perekonomian kembali bergerak, namun lebih menekankan juga edukasi keprotokolan atau memastikan masyarakat terbiasa dengan keprotokolan sehingga tak lagi jatuh korban.
Karena itu, menapaki new normal tanpa mengabaikan protokol kesehatan yang begitu penting, perlu kesadaran semua pihak dengan hati-hati, edukatif, sosialisasi, skema simulasi yang ketat, dan bertahap mengubah perilaku untuk bersiap-siap dalam seleksi alam. Tanpa itu semua, bakal berkonsekuensi lebih besar bagi diri, keluarga, dan lingkungan.(*)
*) Penulisa adalah Editor Buku Lost Generation Potret Kegagalan Negara, dan Pekerja Protokoler di Jakarta.
Komentar