UTANG Dana Bagi Hasil (DBH) kabupaten/kota di Maluku Utara kembali menjadi potret buram tata kelola fiskal provinsi. Hingga November tahun ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara baru merealisasikan Rp123,3 miliar dari total kewajiban Rp765,1 miliar.
Angka ini bahkan sebagian besar adalah pembayaran tunggakan lama, yakni Rp52,6 miliar dari total Rp490,3 miliar untuk utang tahun 2024 dan Rp70,7 miliar dari total Rp274,7 miliar untuk tunggakan tahun 2023. Dengan kata lain, masih ada Rp641,7 miliar hak kabupaten/kota yang belum dibayarkan. Data resmi ini disampaikan langsung Kepala BPKAD Malut, Ahmad Purbaya. (Malut Post edisi Kamis 27 September 2025).
Fakta ini bukan sekadar soal administrasi lambat, tetapi menggambarkan krisis keuangan daerah yang berimplikasi langsung terhadap pelayanan publik, pembangunan, serta keberlanjutan fiskal kabupaten/kota di Maluku Utara.
Yang menjadi ironi adalah bahwa DBH telah sejak awal masuk dalam rencana strategis dan struktur APBD masing-masing kabupaten/kota. Pemerintah daerah di level kabupaten tidak menganggarkan belanja berdasarkan asumsi kosong, melainkan berdasarkan formula DBH yang ditransfer pemerintah pusat dan wajib disalurkan provinsi kepada daerah.
Karena DBH bukan hibah, bukan insentif, dan bukan bantuan, melainkan hak daerah atas kekayaan alamnya sendiri yang dipungut negara dan dikembalikan sebagai pembagian hasil. Maka ketika DBH ditahan, ditunda, atau hanya dibayar sebagian kecil, dampaknya bukan hanya penyesuaian administrasi, tetapi langsung menyentuh program pembangunan yang sudah disusun bertahun-tahun.
Data yang disampaikan Purbaya menunjukkan secara detail bahwa utang DBH Pemprov terhadap kabupaten/kota masih sangat besar. Untuk utang DBH tahun 2024, Kabupaten Halteng masih tersisa Rp149,84 miliar, Halsel Rp107,12 miliar, dan Haltim Rp24,84 miliar. Sementara utang DBH tahun 2023 juga masih menumpuk: Halsel Rp62,48 miliar, Halteng Rp101,83 miliar, dan Haltim Rp10,04 miliar. Di luar tiga daerah penghasil tambang besar tersebut, utang juga masih dicatat untuk daerah lain: Halut Rp26,48 miliar, Kota Ternate Rp37,58 miliar, Tidore Kepulauan Rp19,10 miliar, Kepulauan Sula Rp41 miliar lebih (2023–2024), Pulau Morotai Rp12,4 miliar, serta Taliabu sekitar Rp16 miliar. Semua angka ini tetap dipertahankan apa adanya, sebagaimana data yang Anda berikan.
Jika dibaca sekilas, angka-angka ini tampak seperti sekumpulan data fiskal yang dingin. Namun di balik setiap miliar rupiah tersebut ada jalan yang tidak diperbaiki, ada gedung sekolah yang tertunda pembangunannya, ada fasilitas kesehatan yang terhambat, ada insentif guru yang tertunda, ada kegiatan pemulihan lingkungan yang tak bisa berjalan, dan ada ribuan pegawai honorer yang bekerja dengan kecemasan karena tidak pasti kapan hak mereka dibayar.
Di titik ini, persoalan DBH bukan lagi soal “keterlambatan teknis,” melainkan mengenai bagaimana sebuah provinsi memperlakukan daerah-daerah yang menjadi tulang punggung ekonomi Maluku Utara.
Yang perlu ditegaskan: kabupaten/kota, terutama yang menjadi basis industri ekstraktif, adalah pihak yang paling menanggung risiko. Mereka menerima dampak kerusakan ekologi akibat ekspansi tambang dan smelter, menghadapi banjir lumpur, sedimentasi sungai, poros jalan provinsi dan kabupaten yang hancur dihajar truk overtonase, serta ketegangan sosial yang meningkat karena lonjakan pendatang dan perubahan struktur demografi.
Mereka juga menanggung biaya penanganan kesehatan masyarakat akibat polusi udara dan air. Sementara provinsi sebagai perantara administratif tidak memikul beban ekologis itu. Namun justru di tingkat provinsi inilah DBH sering macet.
Pengamat kebijakan publik, Prof. Agus Pambagio, pernah menyebut situasi seperti ini sebagai “kutukan ganda daerah penghasil”. Kutukannya adalah: daerah menanggung kerusakan lingkungan dan sosial dari tambang, namun ketika kompensasi fiskal datang, pencairannya justru terhambat di provinsi. Pendapat itu diperkuat akademisi kebijakan fiskal daerah, Dr. Beni Sabtiawan, yang menegaskan bahwa provinsi tidak memiliki wilayah fisik setingkat kabupaten dan hanya menjadi “penghubung administrasi.”
Karena itu, kata Beni, provinsi tidak boleh menahan aliran DBH karena kewenangannya hanya menyalurkan, bukan mengelola. Ketika DBH tersendat hingga ratusan miliar seperti yang terjadi di Maluku Utara, maka persoalannya bukan sekadar teknis, melainkan terkait akuntabilitas dan integritas pengelolaan kas daerahl.
Krisis DBH ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah pusat yang memotong Dana Transfer ke Daerah (TKD) hingga lebih dari 30 persen. Dalam banyak kasus, pemotongan itu membuat kabupaten-kota di Maluku Utara kesulitan membayar gaji dan tunjangan pegawai. Ada daerah yang terpaksa menunda pembayaran TPP ASN, menunda belanja modal, hingga menghentikan sementara sejumlah program pelayanan publik.
Kondisi ini memunculkan tekanan fiskal yang tidak hanya menyulitkan kerja pemerintah daerah, tetapi juga menghambat akses masyarakat terhadap layanan dasar. Dalam perspektif analis keuangan publik Dr. Ardito Mulyono, kondisi ini disebut sebagai “triple fiscal shock”—kabupaten menghadapi pendapatan asli daerah yang stagnan, transfer pusat yang dipotong, dan DBH yang tidak cair dari provinsi. Ini membuat daerah berada dalam kondisi keuangan yang rentan dan penuh ketidakpastian.
Ketika dua sumber pendapatan besar daerah melemah secara bersamaan—TKD dipotong pusat dan DBH ditahan provinsi—maka kabupaten-kota berada dalam situasi paling genting. Padahal jika dilihat dari struktur ekonomi Maluku Utara, kabupaten-kota penghasil tambang adalah kontribusi terbesar bagi PDRB provinsi dan penyumbang pemasukan negara melalui royalti, pajak, dan retribusi terkait industri tambang. Namun ironi—dan ketidakadilan fiskal—terjadi ketika daerah-daerah penyumbang inilah yang paling tercekik likuiditasnya.
Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa DBH bisa menumpuk sebesar ini? Apakah provinsi tidak memiliki dana karena tersendatnya transfer pusat? Apakah provinsi memakai DBH untuk menutup defisit belanja rutin? Apakah terjadi overplanning di tingkat APBD provinsi? Atau ada mismanajemen kas sehingga uang DBH digunakan untuk kegiatan lain yang tidak seharusnya? Klarifikasi jujur diperlukan karena DBH bukan milik provinsi, melainkan uang yang dititipkan sebentar oleh pusat untuk diteruskan ke kabupaten-kota. Jika uang itu tidak segera disalurkan, pertanyaannya hanya satu: di mana uang itu sekarang?
Dalam banyak kasus di Indonesia, penahanan DBH oleh provinsi disebabkan belanja daerah yang membengkak, defisit yang tidak realistis, atau ketergantungan provinsi pada dana transfer pusat. Jika kondisi tersebut terjadi pula di Maluku Utara, maka kabupaten-kota dalam posisi yang paling dirugikan. Mereka terpaksa menjadi “bank berjalan” bagi provinsi, tempat provinsi mengompensasi defisit kasnya melalui menunda pembayaran. Padahal menurut prinsip keuangan daerah, provinsi tidak boleh membiayai belanjanya dengan menahan hak fiskal kabupaten.
Kondisi ini semakin tidak adil ketika diingat bahwa kerusakan lingkungan akibat industri tambang ditanggung kabupaten setiap hari. Di Halmahera Tengah, misalnya, operasi tambang dan smelter telah mengubah bentang alam, mengancam sumber air, serta memicu konflik lahan.
Halmahera Selatan menanggung kerusakan tanah dan hutan yang ekstensif akibat ekspansi perusahaan tambang nikel. Halmahera Timur menghadapi tekanan ekologis dan sosial yang sama. Tetapi dana yang seharusnya digunakan pemda untuk memperbaiki infrastruktur dan menanggulangi dampak lingkungan justru tertahan. Data-data DBH—Rp149,84 miliar untuk Halteng, Rp107,12 miliar untuk Halsel, Rp24,84 miliar untuk Haltim, serta utang lama Rp62,48 miliar, Rp101,83 miliar, dan Rp10,04 miliar untuk tahun 2023—menunjukkan bahwa kabupaten penghasil tambang adalah yang paling besar mengalami hambatan fiskal.
Sementara itu, provinsi yang tidak menanggung kerusakan ekologis justru menguasai alur dana. Tidak heran muncul komentar dari sejumlah akademisi bahwa sistem pembagian DBH yang menempatkan provinsi sebagai perantara justru menciptakan ruang stagnasi, salah kelola, bahkan potensi penyalahgunaan. Jika DBH disalurkan langsung dari pusat ke kabupaten, banyak daerah akan menerima haknya lebih cepat dan tanpa perantara birokrasi yang berbelit.
Pada akhirnya, kasus DBH Maluku Utara ini memperlihatkan satu hal fundamental: kegagalan provinsi dalam menjaga keadilan fiskal. Kabupaten-kota telah mengambil risiko besar dengan membuka wilayahnya untuk industri tambang—risiko ekologis, sosial, bahkan politik. Namun kompensasi fiskal yang menjadi hak dasar mereka justru tertahan. Dalam situasi ketika TKD dipotong, APBD tertekan, dan belanja wajib meningkat, penahanan DBH menjadi pukulan yang sangat berat. Provinsi tidak cukup hanya mengatakan “dibayar bertahap.” Yang dibutuhkan kabupaten adalah kepastian, transparansi menyeluruh mengenai posisi kas daerah, penjelasan publik tentang alasan keterlambatan, dan jadwal pembayaran yang tegas.
Sebab bagi daerah, DBH bukan sekadar angka di neraca keuangan, tetapi penentu apakah layanan publik tetap berjalan, apakah guru bisa menerima insentif tepat waktu, apakah puskesmas bisa beroperasi tanpa kekurangan obat, dan apakah masyarakat bisa merasakan manfaat dari kekayaan alam yang dieksploitasi setiap hari.
Provinsi wajib mengembalikan kepercayaan fiskal itu. Dan cara satu-satunya adalah membayar seluruh DBH yang tertunggak, tanpa alasan dan tanpa penundaan. Karena bagi kabupaten-kota, hak DBH bukan hanya kewajiban administratif, tetapi fondasi pembangunan dan kesejahteraan warganya.(*)
**) Penulis Adalah Ketua SOCCER Malut.





























Komentar